
Evaluasi Program Kartu Prakerja: Efektif atau Gagal?
Evaluasi Program Kartu Prakerja: Efektif atau Gagal?
Program Kartu Prakerja telah menjadi salah satu program unggulan pemerintah Indonesia sejak diluncurkan pada tahun 2020. Di tengah pandemi COVID-19, program ini diperkenalkan sebagai solusi untuk meningkatkan keterampilan kerja masyarakat serta memberikan insentif langsung kepada mereka yang terdampak secara ekonomi. Kini setelah berjalan beberapa tahun, muncul pertanyaan besar: apakah program ini efektif atau justru gagal memenuhi tujuannya?
Tujuan Utama Kartu Prakerja
Kartu Prakerja dirancang sebagai program bantuan sosial bersyarat yang menggabungkan pelatihan keterampilan dan insentif finansial. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kompetensi angkatan kerja Indonesia agar siap bersaing di pasar tenaga kerja, baik di sektor formal maupun informal. Peserta program mendapatkan akses ke pelatihan berbasis online dan offline, serta insentif yang diberikan setelah menyelesaikan pelatihan dan survei evaluasi.
Capaian Program: Data dan Statistik
Hingga tahun 2025, lebih dari 17 juta peserta telah terdaftar dalam program ini. Pemerintah telah mengalokasikan dana triliunan rupiah untuk mendukung pelaksanaan Kartu Prakerja. Dari sisi kuantitas, angka ini tergolong besar dan menunjukkan jangkauan program yang luas.
Namun, dalam hal kualitas dan dampak terhadap kesejahteraan peserta, hasilnya cukup beragam. Berdasarkan survei Manajemen Pelaksana Program (PMO) Prakerja, lebih dari 80% peserta merasa pelatihan yang diikuti bermanfaat. Sebagian mengaku memperoleh pekerjaan atau memulai usaha setelah mengikuti program. Meski demikian, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) belum menunjukkan korelasi langsung yang signifikan antara program ini dengan penurunan angka pengangguran secara keseluruhan.
Evaluasi Program Kartu Prakerja: Efektif atau Gagal?
Poin Plus: Inovasi dan Digitalisasi
Salah satu keunggulan dari Kartu Prakerja adalah adopsi teknologi digital dalam pelaksanaannya. Proses pendaftaran, seleksi, pelatihan, hingga pemberian insentif dilakukan secara online. Ini mempermudah akses, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil, selama mereka memiliki akses internet.
Selain itu, program ini mendorong pertumbuhan ekosistem pelatihan daring. Platform seperti Skill Academy, MauBelajarApa, dan lainnya tumbuh pesat karena menjadi mitra resmi Kartu Prakerja.
Kritik dan Tantangan
Meski menuai pujian, program ini juga tidak lepas dari kritik. Beberapa hal yang menjadi sorotan adalah:
Keterbatasan akses internet: Tidak semua peserta memiliki perangkat dan jaringan internet memadai untuk mengikuti pelatihan online.
Kualitas pelatihan yang bervariasi: Ada pelatihan yang dinilai terlalu umum atau tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Indikasi konflik kepentingan: Di awal peluncuran, muncul isu keterlibatan pihak tertentu dalam penyedia pelatihan yang juga terlibat dalam pengelolaan program.
Minimnya pendampingan pasca pelatihan: Setelah peserta menyelesaikan pelatihan, tidak ada tindak lanjut berupa penyaluran kerja atau mentoring usaha yang konsisten.
Efektif atau Gagal?
Menilai program ini sebagai “efektif” atau “gagal” tentu tidak bisa dilakukan secara hitam putih. Dari sisi penyediaan akses pelatihan dan distribusi dana insentif, Kartu Prakerja bisa dikatakan berhasil. Terlebih dalam situasi krisis pandemi, program ini menjadi penopang ekonomi bagi banyak warga.
Namun, jika diukur dari dampak jangka panjang terhadap penurunan pengangguran dan peningkatan kualitas tenaga kerja, maka efektivitasnya masih perlu dievaluasi lebih dalam. Program ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dunia kerja yang terus berubah.
Rekomendasi Perbaikan
Agar Kartu Prakerja semakin berdampak, beberapa rekomendasi berikut patut dipertimbangkan:
Penguatan kurikulum pelatihan
Pemerintah perlu menstandarisasi kualitas pelatihan dan menyesuaikannya dengan tren industri.
Akses internet dan digitalisasi merata
Perlu investasi lebih besar untuk memastikan masyarakat di daerah pelosok bisa mengakses program ini secara adil.
Pendampingan berkelanjutan
Menyediakan coaching, mentoring, atau fasilitasi kerja setelah pelatihan bisa meningkatkan efektivitas program.
Monitoring dan evaluasi independen
Pemerintah harus menggandeng lembaga independen untuk menilai dampak program secara objektif dan transparan.
Penutup
Program Kartu Prakerja cmd368 link adalah langkah progresif dalam menghadirkan pelatihan kerja yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman. Meski masih menyisakan berbagai tantangan, program ini memberi fondasi penting untuk kebijakan ketenagakerjaan masa depan. Efektif atau gagal? Jawabannya mungkin tergantung pada seberapa serius kita mengevaluasi dan memperbaikinya.

Aktivis Masuk Pemerintahan: Antara Harapan Perubahan dan Realita Birokrasi
Aktivis Masuk Pemerintahan: Antara Harapan Perubahan dan Realita Birokrasi
Fenomena aktivis yang masuk ke dalam pemerintahan bukanlah hal baru di Indonesia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tren ini semakin menonjol. Banyak tokoh yang sebelumnya dikenal kritis terhadap negara, kini justru menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka koreksi. Perpindahan peran ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat. Ada yang menyambut positif dengan penuh harapan, namun tak sedikit pula yang menaruh skeptisisme.
Masuknya aktivis ke pemerintahan dianggap sebagai jalan baru untuk membawa perubahan dari dalam. Mereka yang selama ini berjuang di jalanan, kini punya kesempatan merumuskan kebijakan, duduk dalam posisi strategis, dan menjadi pengambil keputusan.
Dari Jalanan ke Jabatan
Beberapa nama aktivis yang kini menempati jabatan di pemerintahan antara lain parlay bola, yang sempat aktif sebagai aktivis mahasiswa sebelum menjadi Staf Khusus Menteri Sekretariat Negara. Ada pula Budiman Sudjatmiko, tokoh reformasi yang kini terlibat aktif dalam isu teknologi dan pembangunan desa. Bahkan di beberapa kementerian seperti Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, muncul nama-nama baru dari latar belakang organisasi sosial.
Masuknya aktivis ke pemerintahan dinilai membawa energi segar. Mereka dinilai lebih dekat dengan masyarakat, memahami aspirasi dari bawah, dan memiliki rekam jejak idealisme yang kuat. Beberapa dari mereka juga memiliki koneksi yang kuat dengan komunitas sipil, sehingga diharapkan mampu menjembatani suara rakyat dengan jalur kebijakan formal.
Harapan dan Tantangan
Masyarakat tentu memiliki ekspektasi tinggi terhadap para aktivis ini. Mereka diharapkan mampu menjaga idealisme dan terus memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, dan transparansi. Namun, harapan itu tidak selalu berjalan mulus. Masuk ke dalam sistem birokrasi yang kompleks, penuh aturan, dan kompromi politik seringkali menjadi tantangan besar bagi para mantan aktivis.
Banyak di antara mereka harus belajar menyeimbangkan antara idealisme dan realitas politik. Beberapa bahkan dikritik karena dianggap “berubah haluan” atau terlalu kompromistis terhadap kekuasaan.
Misalnya, saat seorang aktivis HAM bergabung dengan kementerian dan dihadapkan pada kebijakan kontroversial terkait penggusuran atau pelanggaran HAM, publik mengharapkan keberpihakan yang tegas. Namun ketika yang bersangkutan justru bersikap diam atau membela pemerintah, kekecewaan tak terhindarkan.
Respons Masyarakat Sipil
Reaksi dari sesama aktivis dan organisasi masyarakat sipil pun beragam. Ada yang tetap mendukung dan percaya bahwa perubahan dari dalam lebih efektif dibandingkan hanya menyuarakan dari luar. Namun tak sedikit pula yang memilih menjaga jarak, menganggap bahwa aktivis yang masuk pemerintahan telah kehilangan “ruh perjuangan”-nya.
Beberapa organisasi bahkan secara terbuka menyatakan sikap kritis terhadap mantan anggotanya sendiri. Bagi mereka, menjaga integritas gerakan adalah hal utama. Jika seorang aktivis tak lagi mampu menyuarakan kebenaran secara bebas karena terikat jabatan, maka posisinya di pemerintahan menjadi kontraproduktif.
Momen Refleksi bagi Demokrasi
Fenomena ini sesungguhnya mencerminkan dinamika demokrasi yang sehat. Aktivis masuk pemerintahan adalah bentuk partisipasi politik aktif. Namun demokrasi yang matang juga menuntut adanya pengawasan terhadap semua pejabat publik, tak terkecuali mereka yang dulunya berasal dari masyarakat sipil.
Kehadiran aktivis di pemerintahan seharusnya menjadi jembatan bagi penyempurnaan kebijakan publik, bukan sekadar “pemanis” atau strategi pencitraan. Mereka perlu diberikan ruang untuk bersuara, dan pada saat yang sama, perlu mempertanggungjawabkan setiap langkah mereka kepada publik.
Kesimpulan
Masuknya aktivis ke pemerintahan merupakan peluang sekaligus ujian. Peluang untuk membawa aspirasi masyarakat sipil ke dalam kebijakan nyata. Ujian bagi komitmen dan integritas mereka ketika berada dalam sistem kekuasaan yang penuh tantangan.
Pada akhirnya, masyarakatlah yang akan menilai. Apakah kehadiran para aktivis ini benar-benar membawa perubahan signifikan, atau justru larut dalam arus kekuasaan. Yang pasti, demokrasi membutuhkan suara kritis—baik dari luar maupun dari dalam pemerintahan.

Swasembada Pangan dalam Kepemimpinan Prabowo-Gibran
Swasembada Pangan dalam Kepemimpinan Prabowo-Gibran
Sejak resmi dilantik, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka langsung bergerak cepat dengan menetapkan delapan misi strategis nasional yang disebut Asta Cita. Delapan misi besar ini menjadi pondasi utama pemerintahan baru dalam merancang arah pembangunan nasional untuk lima tahun ke depan. Salah satu pilar penting dari Asta Cita yang mendapat sorotan publik adalah kedaulatan pangan, dengan target besar yakni mewujudkan swasembada pangan secara nasional.
Swasembada Pangan dalam Kepemimpinan Prabowo-Gibran
Kini, setelah hampir empat bulan pemerintahan ini berjalan, sejumlah langkah konkret mulai terlihat, khususnya dalam sektor pertanian, perikanan, dan peternakan. Swasembada pangan tidak hanya menjadi jargon politik, tetapi dijabarkan dalam 17 program prioritas yang menyasar https://apkplanetbola88.com/ berbagai aspek ketahanan pangan, mulai dari produksi, distribusi, hingga inovasi teknologi pertanian.
Mengapa Swasembada Pangan Itu Penting?
Swasembada pangan merupakan kondisi di mana suatu negara mampu mencukupi kebutuhan pangan pokok penduduknya secara mandiri, tanpa bergantung pada impor. Dalam konteks Indonesia yang memiliki lebih dari 270 juta jiwa, swasembada menjadi sangat krusial untuk menjaga kestabilan ekonomi, mencegah inflasi harga bahan pokok, serta melindungi petani dan pelaku usaha lokal.
Lebih dari itu, dalam situasi global yang penuh ketidakpastian seperti perang, krisis energi, hingga perubahan iklim, negara yang tidak mandiri secara pangan akan sangat rentan terhadap guncangan. Pemerintahan Prabowo-Gibran memahami betul ancaman ini dan menjadikannya sebagai salah satu prioritas utama pembangunan nasional.
Langkah-Langkah Pemerintah Menuju Swasembada
Untuk mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan, pemerintah telah meluncurkan beberapa kebijakan awal, antara lain:
Ekspansi lahan pertanian produktif melalui optimalisasi lahan-lahan tidur dan pengembangan food estate.
Peningkatan produksi dalam negeri lewat subsidi benih unggul, pupuk, serta penyuluhan intensif kepada petani.
Pemanfaatan teknologi pertanian modern seperti irigasi pintar, drone pemantau lahan, dan sistem tanam presisi.
Pemberdayaan petani lokal dengan memberikan akses lebih mudah terhadap pembiayaan, pelatihan, dan pemasaran hasil panen.
Penguatan Badan Pangan Nasional sebagai lembaga yang mengatur stok, distribusi, dan stabilisasi harga pangan nasional.
Selain itu, pemerintah juga memperkuat kerjasama antar kementerian dan lembaga agar semua sektor berjalan sinergis, tidak berjalan masing-masing.
Tantangan dan Kendala di Lapangan
Meski komitmen pemerintah sudah terlihat, bukan berarti perjalanan menuju swasembada akan mulus tanpa hambatan. Beberapa tantangan utama antara lain:
Ketergantungan terhadap pupuk impor yang membuat harga produksi naik dan pasokan tidak stabil.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau perumahan yang terus menggerus luas area tanam.
Kurangnya regenerasi petani karena anak muda lebih tertarik bekerja di sektor non-pertanian.
Perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang kerap menyebabkan gagal panen dan kekeringan.
Dalam menghadapi hambatan ini, pemerintah menggalakkan pendekatan jangka panjang melalui riset dan pengembangan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim serta mendorong digitalisasi pertanian agar bisa menarik minat generasi muda.
Harapan ke Depan
Dalam beberapa bulan ke depan, publik menanti hasil nyata dari upaya yang telah dirintis. Pemerintah harus mampu menggerakkan seluruh potensi bangsa, mulai dari petani kecil di desa hingga institusi riset di kota besar, agar visi besar swasembada pangan bisa tercapai. Bila berhasil, bukan hanya Indonesia akan mandiri dalam hal pangan, tetapi juga mampu menjadi eksportir bahan pangan utama di kawasan Asia Tenggara.
Pemerintahan Prabowo-Gibran memikul amanah besar, dan keberhasilan mereka dalam mengatasi persoalan pangan akan menjadi tolak ukur utama keberhasilan Asta Cita.